oleh : anies baswedan
Alhamdulillah, saya senang sekali bisa pulang kampung. Bahkan, berada di University Centre ini banyak momen bersejarah yang terkenang kembali. Beberapa tahun yang lalu mahasiswa membuat sejarahnya di sini. Kita tidak boleh lupa dengan jejak yang kita tinggalkan.
Tantangan yang akan kita hadapi di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana wajah Indonesia di masa kemarin. Sirkulasi rulling elite berjalan lamban, tapi kita lihat sudah ada arah yang jelas. Kalau kita berbicara tentang anak muda, kita tidak boleh menempatkan diri pada tataran lokal saja, tetapi harus dilihat pada tataran global, sekurang-kurangnya benua Asia. Karena anak muda dibutuhkan tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di seluruh dunia. Apa yang dirasakan PT Pertamina sekarang dalam mensiasati gejolak harga minyak dunia dan persaingan antara perusahaan minyak global, misalnya, kalau tidak segera dibereskan, maka Pertamina akan tumbang. Di tingkat korporasi bisnis, pada waktu 15-20 tahun lagi, persaingan bukan lagi di tingkat institusi, melainkan sudah sampai tingkat individu. Kompetitor kita nanti adalah anak-anak dari luar negeri dan orang asing yang datang ke Indonesia untuk mencari profesi yang bonafid.
Supply pemimpin dapat dilihat dari universitas-universitas terkemuka (dulu), tapi kini lama-kelamaan posisinya bisa jadi datang dari universitas luar negeri. Pemuda Indonesia harus punya keunggulan berdasarkan: basis pengetahuan (state of knowledge), kemampuan berbahasa asing, sikap profesional, dan peluang membuka dan mengembangkan aksescapital. Keseimbangan peran civil society, state, and market seharusnya dijawab melalui peningkatan kualitas pendidikan nasional. Selama ini yang disiapkan hanya civil society dan state saja, tapi market-nya masih kurang. Sehingga pemuda berstatus sarjana masih kesulitan mencari kerja, apalagi menciptakan lapangan kerja baru Indonesia.
Proses pendidikan itu ditujukan untuk membangun bangsa, bukan menaikkan degree semata. Idealisme yang dipupuk di masa kuliah harus diikuti dengan semangat profesionalisme ketika merintis kerja. Karakter professional ini yang kurang dari kalangan pemuda, disamping juga penguasaan bahasa internasional. Karakter dasar ini harus dipenuhi sejak sekarang. Pasar yang sekarang ini bersifat materialistik, dan cenderung sekularistik, sehingga harus berhati-hati. Kita ingin membangun kesejahteraan tapi juga harus berkeadilan. Ini mulai dibangun dari sisi legal, pembenahan dan penegakan hukum.
Anak muda selalu terpacu dengan kata kepemimpinan, tapi mestinya juga menyebarkan nilai kesejahteraan. Hal ini harus dilakukan oleh anak muda secara simultan. Negara Eropa tidak mungkin mempunyai kekuatan militer yang kuat, karena di antara mereka tidak ada kesepakatan bahasa persatuan yang akan digunakan. Bahasa Inggris itu bersaing ketat dengan Perancis, Jerman dan lainnya. Indonesia ini sudah punya modal persatuan di banyak bidang. Tinggal lagi, dibutuhkan kompetensi untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan. Tugas itu harus diambil alih oleh pemuda.
Saat ini, setelah satu dasawarsa gerakan reformasi, bangsa kita masih dilanda problem dalam aspek mikroekonomi, tapi proses demokrasinya sudah berjalan bagus, hanya sistem politiknya saja yang belum matang. Banyak aturan main yang harus dilaksanakan demi penjagaan demokrasi. Persoalan utamanya, bagaimana kompetensi itu dibangun di berbagai lapisan masyarakat. Baru setelah itu akan diikuti oleh regenerasi kepemimpinan nasional yang lebih baik.
Setelah masa kemerdekaan, mereka yang masuk sekolah berasal dari golongan masyarakat kelas bawah. Begitu masuk sekolah, kondisi Republik ini belum begitu teratur. Saat itu mereka yang masuk di manapun akan menjadi generasi pertama yang bersekolah di sana. Pada saat ini perguruan tinggi melakukan komersialisasi, tapi tugas universitas negeri sebenarnya tetap saja sesuai amanat konstitusi untuk menyerap seluruh lapisan rakyat. Trend-nya kemudian terbalik, hanya golongan yang mampu (the have) saja yang masuk kuliah, sehingga nantinya yang akan bertambah banyak golongan ekonomi atas, sementara kelompok yang di tengah dan di bawah semakin sedikit. Faktor yang bisa mencegah pergeseran dan mengubah sesuai kondisi ideal, ya universitas itu sendiri. Mereka harus memberikan kesempatan kepada kelompok sulit mendapatkan akses pendidikan tinggi.
Anak-anak yang secara sistematis terkesampingkan sekarang harus dibereskan. Karena trend ini sangat membahayakan. Anak-anak yang sejak awal sudah dipinggirkan, lalu tidak bisa mengakses pendidikan memadai, maka ketika berusia 30-an tahun, mereka akan meledak, terjadi kemarahan-kemarahan. Kita harus mencegah ledakan sosial itu sejak dini. Formasi sosial yang kita bangun harus mengakomodasi kepentingan semua golongan.
Ada kawan yang bilang menerapkan kepemimpinan pemuda itu sulit, karena kita belum matang. Sebenarnya tidak, hanya kesempatan belum dibuka lebar dan perluasan pengalaman belum dilakukan sistematis. Yang perlu dibangun adalah sikap fresh dan gress dari pemuda, yakni mereka memang membawa angin perubahan dan pembaharuan secara substansial. Contohnya, dalam pemilihan kepala daerah, bagaimana tokoh muda bisa muncul dengan kapabilitas dan integritasnya. Hal itu terbukti di beberapa daerah seperti Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Namun, perlu penjagaan khusus terhadap masalah pendanaan politik, agar tidak terperangkap. Pada akhirnya kepemimpinan yang kuat memang memerlukan modal yang bersih dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Kita harus mengubah strategi dalam mempersiapkan diri ke depan. Pada masa lalu, kita sering meneriakkan upaya untuk melakukan perombakan, tapi lupa untuk merumuskan konsep pembangunan kembali (rekonstruksi). Kecuali dalam isu korupsi, memang harus ada komponen utama untuk merombak dan bersikap oposisi. Tapi, oposisi terhadap kemapanan dan berbasis moral. Sikap konstruktif dan membangun ini yang masih kurang terlihat dalam gerakan pemuda. Bagaimana caranya membuat suatu idealita menjadi realita, hal itu lebih dari sekadar pidato perlawanan. Dalam aspek korupsi, memang harus menggandakan perlawanan.
Sikap konstruktif harus didasari dengan idealisme yang kuat. Dulu kita berpikir, bagaimana caranya menggandakan buruh dan memobilisasinya. Maka, sekarang mari berpikir konstruktif, yakni bagaimana membuat buruh dan mendidik mereka agar berdaya. Dalam kerangka itulah sikap mahasiswa tak bisa lagi di menara gading, yang kini semakin kentara di era komersialisasi pendidikan. Mahasiswa dan kaum muda harus bergaul dan memberdayakan masyarakat, tentu saja dengan modal kompetensi dan profesi yang mereka geluti. Sementara itu universitas negeri harus terus dipastikan untuk memperjuangkan akses pendidikan bagi golongan menengah ke bawah!
Disarikan dari ceramah dan tanya-jawab dalam Simposium Nasional Kepemimpinan Pemuda yang diselenggarakan PPSDMS Regional 3 Yogyakarta di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 April 2008.
Tantangan yang akan kita hadapi di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana wajah Indonesia di masa kemarin. Sirkulasi rulling elite berjalan lamban, tapi kita lihat sudah ada arah yang jelas. Kalau kita berbicara tentang anak muda, kita tidak boleh menempatkan diri pada tataran lokal saja, tetapi harus dilihat pada tataran global, sekurang-kurangnya benua Asia. Karena anak muda dibutuhkan tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di seluruh dunia. Apa yang dirasakan PT Pertamina sekarang dalam mensiasati gejolak harga minyak dunia dan persaingan antara perusahaan minyak global, misalnya, kalau tidak segera dibereskan, maka Pertamina akan tumbang. Di tingkat korporasi bisnis, pada waktu 15-20 tahun lagi, persaingan bukan lagi di tingkat institusi, melainkan sudah sampai tingkat individu. Kompetitor kita nanti adalah anak-anak dari luar negeri dan orang asing yang datang ke Indonesia untuk mencari profesi yang bonafid.
Supply pemimpin dapat dilihat dari universitas-universitas terkemuka (dulu), tapi kini lama-kelamaan posisinya bisa jadi datang dari universitas luar negeri. Pemuda Indonesia harus punya keunggulan berdasarkan: basis pengetahuan (state of knowledge), kemampuan berbahasa asing, sikap profesional, dan peluang membuka dan mengembangkan aksescapital. Keseimbangan peran civil society, state, and market seharusnya dijawab melalui peningkatan kualitas pendidikan nasional. Selama ini yang disiapkan hanya civil society dan state saja, tapi market-nya masih kurang. Sehingga pemuda berstatus sarjana masih kesulitan mencari kerja, apalagi menciptakan lapangan kerja baru Indonesia.
Proses pendidikan itu ditujukan untuk membangun bangsa, bukan menaikkan degree semata. Idealisme yang dipupuk di masa kuliah harus diikuti dengan semangat profesionalisme ketika merintis kerja. Karakter professional ini yang kurang dari kalangan pemuda, disamping juga penguasaan bahasa internasional. Karakter dasar ini harus dipenuhi sejak sekarang. Pasar yang sekarang ini bersifat materialistik, dan cenderung sekularistik, sehingga harus berhati-hati. Kita ingin membangun kesejahteraan tapi juga harus berkeadilan. Ini mulai dibangun dari sisi legal, pembenahan dan penegakan hukum.
Anak muda selalu terpacu dengan kata kepemimpinan, tapi mestinya juga menyebarkan nilai kesejahteraan. Hal ini harus dilakukan oleh anak muda secara simultan. Negara Eropa tidak mungkin mempunyai kekuatan militer yang kuat, karena di antara mereka tidak ada kesepakatan bahasa persatuan yang akan digunakan. Bahasa Inggris itu bersaing ketat dengan Perancis, Jerman dan lainnya. Indonesia ini sudah punya modal persatuan di banyak bidang. Tinggal lagi, dibutuhkan kompetensi untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan. Tugas itu harus diambil alih oleh pemuda.
Saat ini, setelah satu dasawarsa gerakan reformasi, bangsa kita masih dilanda problem dalam aspek mikroekonomi, tapi proses demokrasinya sudah berjalan bagus, hanya sistem politiknya saja yang belum matang. Banyak aturan main yang harus dilaksanakan demi penjagaan demokrasi. Persoalan utamanya, bagaimana kompetensi itu dibangun di berbagai lapisan masyarakat. Baru setelah itu akan diikuti oleh regenerasi kepemimpinan nasional yang lebih baik.
Setelah masa kemerdekaan, mereka yang masuk sekolah berasal dari golongan masyarakat kelas bawah. Begitu masuk sekolah, kondisi Republik ini belum begitu teratur. Saat itu mereka yang masuk di manapun akan menjadi generasi pertama yang bersekolah di sana. Pada saat ini perguruan tinggi melakukan komersialisasi, tapi tugas universitas negeri sebenarnya tetap saja sesuai amanat konstitusi untuk menyerap seluruh lapisan rakyat. Trend-nya kemudian terbalik, hanya golongan yang mampu (the have) saja yang masuk kuliah, sehingga nantinya yang akan bertambah banyak golongan ekonomi atas, sementara kelompok yang di tengah dan di bawah semakin sedikit. Faktor yang bisa mencegah pergeseran dan mengubah sesuai kondisi ideal, ya universitas itu sendiri. Mereka harus memberikan kesempatan kepada kelompok sulit mendapatkan akses pendidikan tinggi.
Anak-anak yang secara sistematis terkesampingkan sekarang harus dibereskan. Karena trend ini sangat membahayakan. Anak-anak yang sejak awal sudah dipinggirkan, lalu tidak bisa mengakses pendidikan memadai, maka ketika berusia 30-an tahun, mereka akan meledak, terjadi kemarahan-kemarahan. Kita harus mencegah ledakan sosial itu sejak dini. Formasi sosial yang kita bangun harus mengakomodasi kepentingan semua golongan.
Ada kawan yang bilang menerapkan kepemimpinan pemuda itu sulit, karena kita belum matang. Sebenarnya tidak, hanya kesempatan belum dibuka lebar dan perluasan pengalaman belum dilakukan sistematis. Yang perlu dibangun adalah sikap fresh dan gress dari pemuda, yakni mereka memang membawa angin perubahan dan pembaharuan secara substansial. Contohnya, dalam pemilihan kepala daerah, bagaimana tokoh muda bisa muncul dengan kapabilitas dan integritasnya. Hal itu terbukti di beberapa daerah seperti Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Namun, perlu penjagaan khusus terhadap masalah pendanaan politik, agar tidak terperangkap. Pada akhirnya kepemimpinan yang kuat memang memerlukan modal yang bersih dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Kita harus mengubah strategi dalam mempersiapkan diri ke depan. Pada masa lalu, kita sering meneriakkan upaya untuk melakukan perombakan, tapi lupa untuk merumuskan konsep pembangunan kembali (rekonstruksi). Kecuali dalam isu korupsi, memang harus ada komponen utama untuk merombak dan bersikap oposisi. Tapi, oposisi terhadap kemapanan dan berbasis moral. Sikap konstruktif dan membangun ini yang masih kurang terlihat dalam gerakan pemuda. Bagaimana caranya membuat suatu idealita menjadi realita, hal itu lebih dari sekadar pidato perlawanan. Dalam aspek korupsi, memang harus menggandakan perlawanan.
Sikap konstruktif harus didasari dengan idealisme yang kuat. Dulu kita berpikir, bagaimana caranya menggandakan buruh dan memobilisasinya. Maka, sekarang mari berpikir konstruktif, yakni bagaimana membuat buruh dan mendidik mereka agar berdaya. Dalam kerangka itulah sikap mahasiswa tak bisa lagi di menara gading, yang kini semakin kentara di era komersialisasi pendidikan. Mahasiswa dan kaum muda harus bergaul dan memberdayakan masyarakat, tentu saja dengan modal kompetensi dan profesi yang mereka geluti. Sementara itu universitas negeri harus terus dipastikan untuk memperjuangkan akses pendidikan bagi golongan menengah ke bawah!
Disarikan dari ceramah dan tanya-jawab dalam Simposium Nasional Kepemimpinan Pemuda yang diselenggarakan PPSDMS Regional 3 Yogyakarta di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 April 2008.
anies baswedan